Review Film Persona: IU dan Omnibus yang Janggal

Menyaksikan beberapa film yang terikat dalam satu omnibus adalah keasyikan tersendiri. Saya kerap menebak-nebak, apa saja sih benang merah dari tiap film dalam kumpulannya tersebut.

Sama seperti menyaksikan film debut IU (Lee Ji Eun) berjudul Persona. Omnibus yang berisi 4 seri film pendek ini bisa disaksikan di Netflix mulai April 2019 lalu. Empat film ini sama-sama dimainkan oleh IU sebagai aktris utama, dengan empat karakter yang berbeda.

Persona merupakan karya empat sutradara, yakni Lee Kyoung Mi, Yim Pil Sung, Jeon Go Woon, dan Kim Jong Kwan. Mereka menciptakan empat film pendek ansambel yang digabungkan dalam satu series berjudul Persona.

Empat film pendek ini berjudul Love Set, Collector, Kiss Burn, dan Walking At Night.

Sebelum mendedahnya satu-satu, saya ingin sedikit membahas perkara ‘film pendek’, satu jenis film yang kerap mendapat perhatian saya karena beragam kekhasannya. Terlebih lagi, film Persona banyak menempatkan kekhasan berupa metaphor dan visi artistik menarik dalam narasinya.

Menempatkan Metaphor dan Visi Artistik dalam Film Pendek

Yang selama ini selalu saya pribadi imani adalah, film pendek harus terlepas dari artian film panjang yang dipendek-pendekkan.

Jika yang selama ini kita lihat pada film panjang bioskop kita adalah film-film yang dituntut harus menghibur, harus menyenangkan, harus 3 babak (opening, klimaks, ending), harus ini dan itu—yang karenanya ‘aku gak rugi kalau nonton di bioskop’, maka sudah semestinya ada film alternatif yang merdeka dari tuntutan pasar seperti hal-hal di atas.

Oleh karena ini juga, dalam film pendek (yang kebanyakan memang tidak tayang di bioskop komersil) umumnya sineas lebih bebas mengembangkan misinya, termasuk memainkan style dan visi artistik.

Hal ini pula yang membuat saya selalu senang menonton film pendek dan film alternatif. Karena mereka hadir sebagai bentuk karya merdeka, terbebas dari guntingan sensor, tuntutan pasar (penonton/pemilik modal/pihak bioskop,dll), dan beban-beban yang selama ini menumpulkan esensi ‘art’ itu sendiri.

Karena hal itu juga, dengan menonton film alternatif (dalam hal ini film pendek) kita kerap menjumpai kekhasan cara bertutur sineas, ada yang mainan style, eksplorasi narasi dari shot-shot ganjil, metaphor-methapor simbolik, mainan visual-audio dan cara-cara lain.

Banyak hal ini dieksplore dalam film pendek Persona – IU berikut:

  1. Love Set
  2. Collector
  3. Kiss Burn
  4. Walking at Night

LOVE SET

Narasi Love Set sendiri sederhana, tentang anak perempuan yang tidak suka sosok calon ibu barunya.

Narasi ini digarap sutradara dengan beberapa macam eksperimen, dengan mengambil latar di lapangan tenis dan ‘mengadu’ relasi anak-bapak-pacar bapak ini.

Scene awal, IU gigit apel dengan muka kesel, latar belakang ah-uh ah-uh bapak dan calon ibunya yang tengah main tenis. Si anak gak ridha bapaknya ‘main’ sama pacarnya.

Lanjut scene si anak minta gendong bapaknya di lapangan, yang nyatanya ingin unjuk kekuatan relasi kuasa anak-bapak yg menurutnya masih lebih kuat, ketimbang relasi bapak dan kekasihnya.

Relasi-relasi ini semakin digodok dengan metaphor-metaphor yang ada dalam gambar (mulai dari cara IU ambil apel, bola tenis, hingga score tenis). Menariknya lagi, audio/suara di film juga mampu ngomong buanyak.

Coba merem, dengerin aja mereka ngomong apa. Hasilnya: sebuah narasi subti tentang elasi kuasa bahkan sampai seksualitas. Dengarkan ah-uh ah-uh pas bapak-pacarnya maen, bedakan dengan suara ketika IU tanding tenis dengan pacar bapaknya, bukan ah-uh erotis, melainkan desahan bercampur sumpah serakah, yang jika didengarkan sambil merem seperti adegan gelut cakar2an dua perempuan. Berbeda dengan suara di scene satu. Penanda suara ini semakin dikuatkan sutradara dengan dialog, “Jika main tenis dengan yang lain jangan bersuara seperti itu,” kata bapak kepada IU.

Bagusnya film ini, eksperimen dan style di atas terjalin padu, kenapa tenis, kenapa apel, kenapa harus di lapangan, kenapa IU nekad tanding, kenapa IU terus kalah. Semuanya padu: lapangan tenis berhasil menggambarkan kompetisi real dalam hidup berelasi yang mana selalu bernafsu menguasai satu sama lain.

Sementara, posisi/hierarki ‘daddy’ (ayah) di sini juga istimewa. Di awal penonton mungkin mengira bahwa tokoh lelaki itu ayah kandung IU. Hingga narasi mengarahkannya ke kenyataan yang lain tepat ketika daddy bilang, “aku bukan ayahmu.”

Konteks daddy di sini menjadi diperluas maknanya, dan saya sendiri menebaknya, laki-laki itu adalah sugar daddy IU.

COLLECTOR

Yang menarik dari Collector (film pendek ke-2 Persona) adalah cara sutradara membawakan kisahnya melalui momen-momen ganjil, yang membimbing penonton mempertanyakan sesuatu.

Garis besar film ini adalah penuturan ‘relasi dan relationship’ dari perspektif dua generasi: perempuan muda (IU) dengan pasangannya, laki-laki yang jauh lebih tua.

Perbedaan perspektif ini tertuang dari obrolan sepanjang film, mulai dari esensi cemburu, pertemanan dengan laki-laki (IU saat pergi ke pantai), sampai dengan batas-batas kontak fisik dengan orang lain (ketika IU ciuman dengan teman lakinya).

Sementara itu, pacar IU sendiri menilai ‘hubungan relationship yang sehat’ adalah yang melulu mengerti, melulu memaafkan, tidak cemburu, dan mau berkorban apa saja—termasuk jantungnya. Titik surealisme paling satir, klimaks dari serentetan momen ganjil, yang membimbing penonton mempertanyakan: relationship yang ‘baik’ itu sebenarnya kayak mana?!

Perspektif IU sendiri menggambarkan pandangan yang mementahkan pemikiran kaku generasi lama memahami relationship. Pemikiran IU sarat dengan ide yang lebih bebas, bagaimana hubungan percintaan bisa jadi sangat lentur seperti yang ia lakukan.

Visi artistik film Collector jauh lebih kompleks ketimbang Love Set (film pertama), lebih sarkas, dan sarat momen surealis.

KISS BURN

Kiss Burn adalah metafora nyentrik tentang ‘revenge’.

Scene-scene dalam Kiss Burn seakan-akan disusun untuk menerangkan bahwa serentetan rutinitas dan hal-hal sepele yang kita lakukan, disadari atau tidak, juga merupakan ganjaran atas tindakan kita sebelumnya.

Upaya pembalasan juga tersusun oleh hal-hal sepele (semacam cipokan, ngerokok, sampai bakar hutan) yang kita terus-terusan kita lakukan secara alami, dan tanpa disadari membentuk rantai sebab akibat.

Hyebok cipokan, tidak masuk sekolah karena malu dengan bekas cupang, ayahnya ngomel, motong rambut Hyebok, Hyebok sebal, pengen kasih hukuman ayahnya, Hyebok-Iu jahil, Hyebok stres, untuk meredam stres Iu minta Hyebok ngerokok, rokoknya gak sengaja buat kandang ayam kebakar, ada ayam jalan ke hutan, bakar-bakar, dst-dst.

Semua shot-shot lucu di film ini secara rapi membentuk hubungan sebab akibat yang nyatanya menyusun definisi ‘revenge’ secara ‘alami’.

Dengan hal ini, Kiss Burn berhasil membentu narasi asik: hukuman/ganjaran/pembalasan itu tak harus dibayar dengan hal-hal heroik yang disengaja, karena pada dasarnya seluruh perilaku kita (yang punya rasa dendam) akan membentuk karmanya sendiri, sengaja tau tidak diupayakan sekalipun.

WALKING AT NIGHT

Yang menarik dari film pendek ke-4 ini adalah upaya sutradara mempertemukan dua orang yang terpisah dalam semesta yang berbeda. Adalah sepasang kekasih, laki-laki dengan kekasih perempuannya yang telah mati yang berhasil berkomunikasi kembali dalam satu ruang: mimpi si cowok.

Walking at Night sendiri mendedah tentang esensi kematian melalui obrolan dua orang tersebut. Si perempuan (IU) menuturkan pengalaman kematiannya serta bahasan perihal alasannya memutuskan mati, atau bunuh diri. Di titik ini, penonton diberikan narasi yang menyatakan, kematian bukan titik akhir, karena orang yang mati pun bisa terhubung dengan semesta kita dengan caranya sendiri.

Semesta selepas kematian dan semesta mimpi di film ini diikat dan disejajarkan sebagai dua hal yang mirip: tempat yang sama-sama jauh, sama-sama memberi jarak, dan sama-sama akan dilupakan.

Mimpi dan kematian tak mengarah kemanapun, tak akan berakhir di mana pun, dan akhirnya akan sama-sama akan dilupakan.

****

FILM PENDEK menarik dengan kekhasannya masing-masing. Saya sendiri percaya, dalam ‘membaca’ film yang punya kekhasan dan sarat metafora itu, tak akan ada yang mempunyai otoritas kebenaran. Tak ada yang mutlak benar, karena pembacaan penonton atas film hanya mungkin lahir dari logika yang dibangun oleh dan dari film itu sendiri.

Pembacaan ini juga yang memungkinkan penonton untuk aktif, karena terlibat secara intelektual dan emosional. Asyiknya adalah di sini, di mana menonton bukan lagi sebagai agenda yang pasif.

Selamat ‘membaca’ [setelah menonton] film.

One thought on “Review Film Persona: IU dan Omnibus yang Janggal

  1. Kayaknya daddy nya IU bilang “aku bukan ayah mu” itu ke pierce deh (si bule) Soalnya si pierce itu keceplosan bilang “abeonim” ke daddy nya IU (gara-gara donna bilang si pierce itu pacar nya IU) sementara aboenim dalam bahasa korea artinya ayah dan biasa digunakan sama menantu ke mertua. Daddy nya IU ngerasa terganggu disebut aboenim sama pierce yang asalnya ngomong bahasa korea langsung ganti jadi bahasa inggris “IM NOT UR FATHER” berulang-ulang ke pierce yang bikin pierce awkward sedangkan IU masih sibuk dandan.

    Like

Leave a comment