The World of The Married, Diksi Pelakor, dan Ketidaksetaraan Bahasa

Drama Korea terbaru The World of the Married riuh dibicarakan akhir-akhir ini, baik itu di lingkaran penggemar drakor, penonton film, hingga disebut-sebut oleh beberapa akun medsos feminis.

Cerita tentang perselingkuhan dalam pernikahan memang masih laku keras di kalangan masyarakat Indonesia. Fenomena ini diikuti oleh para pencerita yang dengan formulanya masing-masing mengkreasikan tema agar jatuhnya tak terlalu picisan. Kemudian, apa yang ditawarkan The World of the Married atas topik yang jamak didongengkan ini?

The World of the Married laris menjadi bahan obrolan di kalangan ibu-ibu lantaran dipantik salah satu tokoh yang berperan menjadi orang ketiga yang masuk dalam relasi pernikahan Ji Sun Woo dan Lee Tae Oh. ‘Perempuan yang lain’ ini bernama Da Kyung—yang oleh banyak penontonnya dilabeli dengan julukan ‘pelakor’ (perebut lelaki orang).

Drama sepanjang 16 episode (The World of the Married baru sampai episode 14 hingga tulisan ini dirilis) ini mendedah relasi 3 tokoh utama tersebut. Hal-hal yang terjadi usai perceraian, kisah menjadi orangtua tunggal, perkara menjadi anak dari ibu-ayah yang bercerai, hingga eksistensi perempuan ketiga yang ‘menang’ setelah menyisihkan istri orang, serta drama-drama yang belum selesai di antara ketiga orang yang berkonflik tersebut.

Kali ini, saya hanya ingin membahas satu di antara hal-hal pelik di atas, yakni eksistensi ‘perempuan yang lain’, berikut bagaimana pandangan masyarakat kita atas subjek tersebut.

Pelakor & Seksisme dalam Bahasa Indonesia

Diksi pelakor mengingatkan kita pada kasus pelabrakan Jennifer Dunn beberapa waktu yang lalu.

Bertahun-tahun sebelumnya, Pramoedya Ananta Toer juga memperkenalkan tokoh Nyai Ontosonoh sebagai gundik tuan Mellema yang dikagumi banyak orang karena keanggunannya di buku Bumi Manusia.

Kisah pergundikan terus berulang, baik di potongan-potongan sinetron sampai di kehidupan nyata masyarakat kita. Sayangnya, ide cerita perselingkuhan dan orang ketiga yang terus direpetisi tersebut kerap dilihat tidak berimbang di mata masyarakat kita. Setidaknya, label-label ‘pelakor’, ‘gundik’ yang riuh jadi ujaran kebencian tersebut menjelaskan bahwa masyarakat kita masih timpang memperlakukan subjek-subjek di hadapannya.

Diksi-diksi timpang ini menempatkan perempuan simpanan sebagai subjek aktif yang melakukan perselingkuhan, dan dalam taraf tertentu mengesampingkan perilaku aktif laki-laki yang juga punya peran utama dalam kolaborasi gelap itu.

Keabsenan laki-laki dalam pembahasan perselingkuhan-pelakor ini tentu akan melahirkan tafsiran diskriminatif yang lain. Budaya patriarki di masyarakat kita telah mengarahkan betapa beban menjadi perempuan simpanan mempunyai konsekuensi logis yang jauh lebih besar dibanding laki-laki simpanan dan suami yang berselingkuh. Hal ini tentu bermasalah, karena laku perselingkuhan adalah agenda kolaboratif dua subjek, baik pihak laki-laki maupun perempuan.

**

Ekspresi-ekspresi seksisme dalam Bahasa Indonesia sebenarnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan kosa kata di bahasa Inggris dan bahasa Arab. Kata ganti she dan he, kosakata postman, chairman, diksi nagging wife dsb, dalam bahasa Inggris menunjukkan betapa ketidaksetaraan juga hadir dalam ranah bahasa.

Dalam bahasa Indonesia, kita bisa menemukannya dalam kata seniman, frasa ‘istri memasak di dapur, ‘dada belah duren’, termasuk juga akronim ‘pelakor’.

Saya sendiri percaya bahwa bahasa adalah instrumen dasar yang mana berperan penting dalam mempengaruhi cara berpikir penggunanya. Konon, bahasa memang bukan sekedar alat komunikasi namun juga cara-cara subtil melanggengkan ideologi.

Sehingga, pemilihan tata bahasa yang netral–dibanding latah menggaungkan diksi seksis—paling tidak akan menekan pola-pola pikir diskriminasi gender dalam masyarakat.

Saat Perempuan yang Lebih Berdaya Merepresi Perempuan di Sekitarnya

Pertanyaan selanjutnya dari pembahasan karakter Da Kyung di The World of the Married adalah, istri versus perempuan simpanan, siapa yang patut kita bela?

Saya pribadi sepakat, istilah pelakor harus dikritisi. Namun, untuk membela perempuan-simpanan-suami-orang apalagi mendukung macam-macam-suami-yang-berselingkuh tentu masalah lain. Hal ini tentu runyam, terutama bagi mereka yang terjebak dalam konteks: menolak istilah pelakor sama dengan mendukung hak kebebasan perempuan simpanan.

Kebebasan adalah juga entitas yang punya batas, menurut saya pribadi. Kita berhak atas kebebasan kita sebagai manusia, boleh-boleh saja melakukan apapun, apa saja, selama itu tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain.

Pernyataan ini mungkin bisa dipakai sebagai alat ukur bagi sebagian penonton yang mendukung ujaran Tae Oh soal motifnya memacari dua perempuan sekaligus. “Apa yang salah dengan jatuh cinta,” ujar Tae Oh. Alasan yang sama yang bisa jadi digunakan mereka yang ingin berpoligami.

Ya kita bebas menyukai apa pun atau mencintai siapa pun. Kita bebas aja kok tergila-gila menyukai kucing anggora, terobsesi pada boneka babi warna merah muda, atau jatuh hati dengan Barry Prima. Gakpapa, batasnya (menurut saya) adalah selama perilaku itu tak mendaifkan dan menyakiti diri sendiri dan orang lain.

Sehingga wacana mana yang harus kita bela antara istri atau perempuan simpanan—atau malah suami yang berselingkuh, tentu saja bisa bisa dilihat ulang dari hal-hal dibalik itu semua. Atau secara khusus bisa didedah dari relasi kuasa antara Da Kyung-Tae Oh-Sun Woo di The World of the Married.

Banyak relasi yang tidak setara di antara 3 tokoh tersebut, termasuk antara Da Kyung dan Sun Woo. Dibanding Sun Woo si istri Tae Oh, Da Kyung si perempuan simpanan adalah perempuan yang jauh lebih muda dengan tampilan fisik yang menarik, finansial yang jauh lebih baik—keluarganya salah satu orang yang berpengaruh di kota mereka tinggal. Ketidaksetaraan ini yang kemudian melahirkan power dari Da Kyung untuk menyudutkan, memukul, bahkan mengiris-iris relasi pernikahan Tae Oh dan Sun Woo.

Relasi kuasa antar-dua perempuan klimaksnya menjadi semakin timpang ketika Da Kyung hamil anak Tae Oh. Kita juga tak bisa memungkiri, posisi anak, dalam taraf tertentu akan ‘dipakai’ orangtua untuk memperkuat powernya.

Kehamilan ini juga yang dipakai Da Kyung mencuri Tae Oh dan menginjak-injak relasi Sun Woo (baik relasi Sun Woo dengan suaminya maupun relasi Sun Woo di masyarakat Gosan). Ketidaksetaraan nyata inilah kemudian melahirkan perceraian. Melahirkan perasaan-perasaan dan drama-drama yang mungkin ditawarkan dari perpisahan dua orang—yang selama film bisa kita saksikan keseruannya.

Saat perempuan yang lebih berdaya menyudutkan dan menekan perempuan lain di sekitarnya, dan kita dengan bebal membelanya. Pertanyaan selanjutnya, siapa lagi yang akan membela perempuan yang menjadi korban perilaku represif tersebut?

Leave a comment